Masyrakat Barat, pada masa sebelum dan selama abad pertengahan, menghayati karya arsitektur dengan mental spiritualitas keagamaan dan mitolgis. Mereka beranggapan bahwa arsitektur berfungsi sebagai media penghadiran simbol makrokosmos ke dalam mikrokosmos. Sejak abad pertengahan hingga menjelang perang dunia II, masyarakat Barat mengambil norma-norma Yunani dan Hibrani sebagai landasan kebudayaannya.
Pada pertengahan abad ke-19, di dunia barat terjadi perubahan besar dalam dunia arsitektur. Untuk memenuhi tuntutan revolusi teknologi dan industri yang sedang berkembang pesat, mereka mencoba keluar dari kaidah dan tradisi yang telah tertanam kuat pada masa sebelumnya. Pada saat itu (zaman yang disebut sebagai zaman mempesona tanpa tanggung jawab dan puas-diri penuh akal), mereka kehabisan ide dan konsep baru untuk memperoleh pemecahan masalah yang sedang mereka alami hingga akhirnya kehilangan identitas diri warisan leluhurmya.
Pada pertengahan abad ke-19, di dunia barat terjadi perubahan besar dalam dunia arsitektur. Untuk memenuhi tuntutan revolusi teknologi dan industri yang sedang berkembang pesat, mereka mencoba keluar dari kaidah dan tradisi yang telah tertanam kuat pada masa sebelumnya. Pada saat itu (zaman yang disebut sebagai zaman mempesona tanpa tanggung jawab dan puas-diri penuh akal), mereka kehabisan ide dan konsep baru untuk memperoleh pemecahan masalah yang sedang mereka alami hingga akhirnya kehilangan identitas diri warisan leluhurmya.
Kemudian mereka mencoba menciptakan suatu gaya baru yang disebut Art Nouveau (juga disebut Jugendstil atau Secession) yang ternyata hanya mampu memberi dekorasi dalam bangunan dan tidak membentuk gaya bangunan yang sepenuhnya baru.
Karena Art Nouveau tidak mampu memberi suasana baru dalam dunia arsitektur, mereka mulai mempelajari kembali gaya arsitektur masa lampau yang gemilang. Akhirnya mereka terinspirasi karya-karya arsitektur masa lampau dan melakukan penjiplakan tanpa berpikir panjang yang disebut eklektisisme. Eklektisisme (eclecticismus) adalah suatu semangat menjiplak serba campur-aduk; gado-gado dari semua unsur saja yang kebetulan disenangi, tanpa refleksi, tanpa prinsip; secara liar.
Bangsa barat beranggapan bahwa manusia yang berbudaya ditafsir sebagai mahkluk yang selalu tertempatkan dalam suatu realita yang terus berlaku terhadap manusia. Sekalipun dunia diakui sebagai syarat atau modal agar manusaia dapat hidup, namun sekaligus dianggap sebagai belenggu yang menekankan kecemasan dalam manusia terhadap yang tidak / belum diketahui olehnya.
Karena hal di atas, maka arsitektur diartikan sebagai “melawan sesuatu lingkungan terhadap sesuatu, atas pembebasan dari sesuatu”. Dalam Grand Larousse Encyclopedie (1960) disebutkan bahwa “Tugas arsitektur yag paling pertama ialah memenuhi kebutuhan-kebutuhan material: memberi perumahan bagi berbagai aktifitas manusia”.(pada akhir abad ke-19, arsitek Eropa baru mulai memikirkan perumahan rakyat dan berusaha menyelidiki bagaimana perumahan rakyat dapat berguna bagi masyarakat (sebelumnya, arsitek hanya menaruh minat pada istana raja, tempat ibadah, kuil agung, dan sebagainya)).
Dalam menyusun dan merencanakan struktur serta estetikanya, Arsitek Barat akan melihat, menganalisa, dan menyusun konsep arsitektural terlebih dulu. Estetika yang muncul adalah hubungan-hubungan yang kontrapoler, yakni suatu hubungan yang saling berlawanan. Sebagai contoh adalah hubungan yang terjadi antara unsur vertikal dengan unsur horizontal, kebekuan statika dengan gelora dinamika; yang meski berlawanan tetapi akan membentuk suatu keindahan estetis tersendiri.
Dasar estetika tersebut berasal dari penghayatan dan sikap masyarakat barat terhadap materi dan fenomena yang sedang terjadi.
Dalam zaman Renaissance, tafsiran “melawan alam” belum ada. Bagi mereka pada masa tersebut, yang ada adalah pendapat “seni itu bebas dari alam, bukan tentangan terhadap alam; tetapi sebuah dunia yang berbentuk di samping alam”. Pada masa sebelumnya lagi, ada anggapan bahwa seni adalah sabda dan citra di dalam manusia yang diproyeksikan ke dan di dalam meteri. Seperti ungkapan seorang pujangga Italia yang bernama Dante: “Seni terdapat dalam tiga unsur; dalam jiwa seniman, di dalam alat, dan di dalam materi yang berkat seni mendapat bentuknya”.
Pada abad ke-20, sekitar masa perang dunia I, masyarakat barat yang masih menganut eklektisisme mulai menemukan konsep dan bentuk yang independen dan meyakinkan; mengekspresikan jiwa manusia yang sangat mendambakan teknologi. Mereka memasukkan kemungkinan-kemungkinan dunia industri (teknologi) ke dalam bentuk dan wujud arsitektur. Ciri khas pada masa ini adalah penghayatan rasionalisme dalam bentuk-bentuk yang murni dan abstrak. Rasionalisme tampak jelas dalam pengetrapan arsitektur yang harus mengikuti kaidah-kaidah rasio hingga muncul pendapat “form follows function” yang begitu terkenal. Sebagai contoh, arsitek-barat berpendapat bahwa rumah menyerupai mesin yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Karena itu, rumah harus mampu menyediakan ruang yang dapat digunakan untuk memenuhi semua aktifitas yang dilakukan penghuninya.
Meski berdasar rasio, aspek estetika tidak lalu dilupakan, akan tetapi muncul dalam bentuk “estetika yang memberi kebahagiaan rasio”. Garis-garis lurus dan bidang-bidang geometris yang terjalin dalam bentuk-bentuk matematika (sangat terukur dan teratur) menjadi estetika yang sangat dikagumi. Kemurnian, kebeningan, dan kepolosan menjadi ideal umum pada kurun waktu tahun ‘60 sampai ‘70-an.
Menjelang tahun 70-an, arstektur-barat mengalami kelesuan lagi karena kemunduran kepercayaan diri mereka setelah kekalahan USA (kiblat masyarakat barat) di Vietnam serta kejutan krisis minyak dan resesi ekonomi. Karena hal tersebut, masyarakat mulai mencari inspirasi dari kebudayaan lokal lama. Paham “vernakular” (pribumi setempat) mulai marak lagi dalam dunia asitektur.
Sampai saaat ini, dalam dunia arsitektur belum mampu menonjolkam ekspresi lain di luar prinsip yang dirintis oleh arsitek tahun 50-an. Pengembangan masih dalam sisi formalisme dan penyempurnaan teknik serta penggunaan bahan bangunan.
Dari keterangan di atas, tampaklah bahwa konsep arsitektur di Eropa dan jiwa yang meresapi wujud karya dan struktur arsitektural di Barat tidak pernah berkesinambungan satu-sama watak. Tugas bagi kita, arsitek Indonesia, sebagai perintis yang mengemban karya demi suatu Indonesia baru. Kita harus mampu menyaring nilai-nilai kebenaran dari bangsa lain di segala zaman, yang mempengaruhi kita, untuk membentuk identitas dan kepribadian diri kita.
Paham vernakular merupakan kesempatan bagi arsitek Indonesia untuk mengembangkan arsitektur khas Indonesia secara konsisten dan penuh makna karena arsitektur tidak hanya mengolah masalah teknis saja, tetapi juga berkecimpung dalam dunia makna yang terdalam.
* * * * * * * * *
Disusun oleh:
Septia Faril Lukman
Mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
e-mail: unfinished_tales@yahoo.co.id
Sumber:
Mangunwijaya, Y.B. Wastu Citra
Description:
Arsitektur Barat dan Filasafatnya (Ringkasan Wastu Citra)
Rating:
4.5
Reviewer:
Faril
ItemReviewed:
Arsitektur Barat dan Filasafatnya (Ringkasan Wastu Citra)
Mangunwijaya, Y.B. Wastu Citra
0 komentar :
Tulis Komentar Anda di Sini...