Senin, 06 September 2010

Semarang Tak Punya Wajah


Ingatkah kau pada hari saat aku mengunjungimu, wahai Pulau Dewata? Ketika aku ingin melihat wajahmu yang elok dimana seluruh manusia di bumi mengenalmu, bahkan mengagumimu, jauh melampaui keterkenalan ibu kita. 
Hari itu kau menyambutku dengan sangat ramah, membuka pintu rumahmu yang sangat khas dan mempersilakan aku menengok rumahmu yang juga khas. Aku hanya bisa terpana menatap ciri khas dan adat istiadat rumahmu yang tak hilang ditelan ganasnya budaya modern. Berbeda dengan keadaan rumahku, rumahku...
Kau tunjukkan padaku keindahan setiap detail rumahmu yang berhias terccota. Lagi, aku melihat ciri khas yang tetap melekat pada tiap dekorasi, meski banyak turis asing yang menggodamu dengan budaya dan langgamnya. Bahkan tsunami globalisasi pun tak bisa mencabut akarmu yang kuat. Paling banter, hanya terjadi sedikit perubahan bentuk, tetapi ciri khas adat rumahmu masih melekat erat di setiap sisinya. Berbeda dengan keadaan rumahku, rumahku...

Saat aku terpana menatap rumahmu yang begitu khas, sedikit aku teringat pada rumahku sendiri. Rumah yang tak bisa kubanggakan di hadapmu. Rumah yang tak bisa kusejajarkan dengan keanggunan rumahmu. 
Rumahku tak punya wajah khas yang dapat membedakannya dengan rumah-rumah lain di bumi ini. Rumahku telang terpengaruh dari budaya dunia yang tercampur-adauk, yang tak jelas arahnya. Bahkan terasa sangat mentah penggabungannya, yang seorang arsitek menyebutnya “gado-gado”. 
Adat yang diajarkan para leluhur rupanya tak memuaskan hasrat penghuni rumahku. Bahkan, mereka malah menyembunyikannya rapat di dalam peti tanah yang kuncinya dimasukkan ke dalam batuan. Sebagai gantinya diterapkanlah berbagai budaya asing yang membuatnya tak memiliki ciri khas lagi sehingga jauh dari kesan unik. Sedangkan ajaran para leluhur hanya dijadikan payung penutup di bagian atasnya saja. 
Aku merasa semuanya kacau, tak ada bentuk keseragaman yang membuat antar-rumah memiliki hubungan sebagai sebuah kesatuan dalam tubuhku. Bahkan, rumah yang saling berdekatan pun tak memiliki keserasian sama sekali, baik dalam bentuk, warna, atau bahkan aliran. 

Aku muak. Aku muak pada rumahku sendiri. Aku muak. 
Aku resah. Aku resah pada rumahku sendiri. Aku resah. 

Semoga para penghuninya segera sadar dan berbenah sehingga memiliki jati diri dan pendirian kuat bagi rumahnya. Sehingga rumahku dapat kubanggakan di hadapmu, kesejajarkan dengan keanggunanmu. Yang dapat kuperkenalkan pada dunia ini dan mereka mengakui bahwa aku dan rumahku memliki wajah. Wajah yang khas dan tak ada duanya di jagat raya. Wajah yang bila orang melihatnya, ia akan langsung mengenalinya dan berkata: “Ini adalah bangunan yang ada di Kota Semarang”. 

Ditulis karena keprihatinan penulis akan kondisi bangunan yang ada di Kota Semarang. Bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki keterikatan satu sama lain, padahal berada dalam kesatuan kota. Bahkan, bangunan yang bersebelahan sangat berbeda dalam bentuk maupun aliran arsitekturnya, tidak serasi satu sama lain. Sudah seharusnya sebagai sebuah kota, Semarang harus memiliki ciri bangunan yang membedakannya dengan bangunan di kota lain. Ciri tersebut sebaiknya da di setiap bangunan di Kota Semarang agar dapat tampak serasi dan memiliki keterikatan sebagi sebuah kota. Seperti ciri penggunaan bahan terccota pada bangunan di Bali (yang disebut dalam artikel), atap Gadang di Padang, gothic di Vatikan, dan ciri khas kota lain di dunia.

*  *  *  *  *  *  *  *  *
Disusun oleh:
Septia Faril Lukman
Mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
e-mail: unfinished_tales@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar