Rabu, 23 Juni 2010

Sejarah Kota Lama Semarang - OUTSTADT (Little Netherland)


Kota Lama Semarang (pada masa Hindia Belanda disebut dengan nama “outstadt” dan “Little Netherland”) terletak di Kelurahan Bandarharjo, kecamatan Semarang Utara, dengan luas sekitar 0,3125 km2 (+31 ha). Batas-batas Kota Lama Semarang adalah sebagai berikut,
- Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Merak (dahulu “Norder-wal-Straat“) dan stasiun Tawang.
- Sebelah Timur berbatasan dengan jalan Cendrawasih (dahulu “Ooster-wal-Straat“).
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Sendowo.
- Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Mpu Tantular (dahulu “Wester-wal-Straat“) dan sepanjang Kali Semarang (sungai).
Peta Kawasan Kota Lama Semarang (http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/)
Kota Lama Semarang direncanakan sebagai pusat dari pemerintahan Kolonial Belanda dengan banyak didirikan bangunan pemerintahan. Ini terjadi setelah penandatanganan perjanjian antara Mataram dan VOC pada tanggal 15 Januari 1678. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Semarang (sebagai pelabuhan utama kerajaan Mataram) telah diserahkan kepada pihak VOC karena VOC membantu Mataram menumpas pemberontakan Trunojoyo. Mulai tahun 1705, Semarang berada di bawah kekuasaan penuh VOC. Sejak saat itu, mulai muncul banyak pemberontakan penduduk pribumi Semarang terhadap pendudukan VOC.
Seperti kota-kota lainnya yang berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda, di Semarang dibangun pula benteng bernama “Vijfhoek“ yang digunakan sebagai pusat militer dan daerah permukiman penduduk Belanda. Benteng ini berbentuk segi lima dan pertama kali dibangun di sisi barat Kota Lama Semarang. Benteng ini memiliki satu gerbang di sisi selatan dan lima menara pengawas. Masing-masing menara pengawas diberi nama: Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk dan Bunschoten.
Benteng “Vijfhoek“ tahun 1720 (http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/)
Kemudian permukiman Belanda mulai tumbuh di sisi timur benteng “Vijfhoek“. Banyak rumah, gereja, dan bangunan perkantoran dibangun di pemukiman yang sekarang dikenal dengan nama Kota Lama Semarang. Pada waktu itu, pemukiman ini dikenal dengan nama “de Europeeshe Buurt“. Bentuk tata kota dan arsitektur pemukiman ini dirancang mirip dengan tata kota dan gaya arsitektur di Negeri Belanda. Kali Semarang dibentuk menyerupai kanal-kanal di Belanda.
Pada awal pembangunan permukiman “de Europeeshe Buurt“, benteng “Vifjhoek“ belum menyatu dengan pemukiman tersebut. Karena situasi yang semakin tidak aman oleh pemberontakan penduduk pribumi, pemerintah Belanda membangun benteng yang lebih besar untuk melindungi permukiman penduduknya. Benteng “Vifjhoek“ dibongkar dan dibangun sebuah benteng baru (lebih besar) yang mengelilingi dan melindungi seluruh permukiman “de Europeeshe Buurt“.
Dinding benteng sisi utara terletak di sepanjang jalan Merak (dahulu “Norder-wal-Straat“). Bagian barat terletak di sepanjang jalan Mpu Tantular (dahulu “Wester-wal-Straat“) dan Kali Semarang. Tembok sisi selatan terletak di jalan Kepodang (dahulu bernama “Zuider-wal-Straat“) dan tembok timur terletak di jalan Cendrawasih (dahulu “Ooster-wal-Straat“).
Benteng ini memiliki tiga gerbang, yakni di sisi Barat, Selatan dan Timur. Gerbang Barat bernama “de Wester Poort“, disebut juga dengan nama “de Gouvernementspoort“ karena terletak dekat dengan daerah pemerintahan. Gerbang Selatan bernama “de Zuider Poort“ ( berada di lokasi yang sekarang disebut jembatan Berok) dan Gerbang Timur bernama “de Oost Poort“. Untuk mempercepat jalur perhubungan antar ketiga pintu gerbang, maka dibuat jalan-jalan penghubung, dengan jalan utamanya diberi nama ”de Heerenstraat“ (saat ini bernama Jl. Letjen Soeprapto).
Perkembangan kehidupan di dalam benteng baru ini berjalan dengan baik. Pemerintah Kolonial Belanda membangun sebuah gereja Protestan di dalam benteng yang diberi nama gereja “Emmanuel“ (sekarang terkenal dengan nama “Gereja Blenduk“). Pada sebelah utara Benteng, dibangun Pusat komando militer untuk menjamin pertahanan dan keamanan di dalam benteng. Dengan kondisi yang dilindungi dinding benteng, tampak bahwa kawasan ini terpisah dari daerah di sekitarnya, sehingga seperti sebuah kota tersendiri (ditambah faktor tata kota yang mirip dengan tata kota di Belanda serta bangunannya berbeda dengan bangunan di luar benteng), sehingga banyak orang menjulukinya dengan nama "Little Netherland".
Benteng “Vijfhoek“ tahun 1756
Sumber: Sumaningsih, Y.T., 1995

Tahun 1824, gerbang dan menara pengawas benteng ini mulai dirobohkan. Orang Belanda dan orang Eropa lainnya mulai menempati pemukiman di sekitar jalan Bojong (sekarang jalan Pemuda) dan jalan Mataram. Pada masa ini, permukiman “de Europeeshe Buurt“ telah tumbuh menjadi kota kecil yang lengkap.
Pada saat Gubernur Jenderal Daendels memerintah Hindia Belanda (1808-1811), dibangun jalan post (Postweg) antara Anyer dan Panarukan. Jalan utama di dalam benteng, yakni ”de Heerenstraat“ (sekarang jalan Letjen Suprapto) menjadi bagian dari jalan post tersebut (van Lier, H.P.J. 1928).
Banyak bangunan diperbaiki, seperti Gereja Kristen Emmanuel (Gereja Blenduk), yang berarsitektur reinessance, direnovasi pada tahun 1894. Menjelang abad ke-20, permukiman “de Europeeshe Buurt“ semakin berkembang pesat dan banyak dibangun kantor perdagangan, bank, kantor asuransi, notaris, hotel, dan pertokoan. Di sisi Timur Gereja Blenduk, dibangun lapangan terbuka yang digunakan untuk parade militer atau pertunjukan musik di sore hari yang sekarang mejadi taman Srigunting (van Velsen M.M.F., 1931).
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia mengambil alih (nasionalisasi) usaha-usaha dagang Belanda, kantor-kantor, dan bangunan-bangunan penting lainnya. Namun, dalam perjalanan waktu, bangunan-bangunan peninggalan masa penjajahan Belanda tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal sebagai tempat kegiatan bisnis. Karena tidak adanya perkembangan dalam pengelolaan perdagangan dan perekonomian di wilayah Kota Lama ini, maka banyak pemilik baru bangunan kuno ini yang meninggalkan bangunannya dan dibiarkan kosong tak terawat.
Kota Lama Semarang tidak lagi menjadi pusat kota, pusat perekonomian, ataupun pusat segala kegiatan. Dengan demikian, lambat laun kota ini menjadi mati dan hanya beberapa bangunan saja yang masih berfungsi. Di malam hari, hampir tidak ada kegiatan sama sekali di kota ini, sehingga benar-benar menjadi kota mati di malam hari.
*  *  *  *  *  *  *  *  *



Disusun oleh:
Septia Faril Lukman
Mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
e-mail: unfinished_tales@yahoo.co.id


Sumber:
Sumalyo, Yulianto.1993. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
http://puslit.petra.ac.id/journals/request.php?PublishedID=ARS04320206 Diakses pada tanggal 16 Mei 2009 pada pukul 10.30
http://puslit.petra.ac.id/journals/request.php?PublishedID=ARS05330104 Diakses pada tanggal 16 Mei 2009 pada pukul 10.30
www.semarang.go.id/cms/pemerintahan/dinas/pariwisata/gedung/masscomgraphy.php Diakses pada tanggal 16 Mei 2009 pada pukul 10.25

3 komentar:

  1. kalo ke jakarta naik mbl, sll lwt semarang, tp ga prnh singgah...ehemm stlh bc posting ini jd pengen singgah ke semarang....

    BalasHapus
  2. tapi Kota Lama Semarang tidak seterawat Kota Lama Jakarta..
    sayang sekali..
    mungkin juga karena cuaca yang panas,,jadi Kota Lama Semarang kurang menarik bagi wisatawan..
    Untuk berkunjung,,sebaiknya pada pagi atau sore hari..terutama di Polder,,akan tampak indahnya langit pagi dan sore..
    Semoga bermanfaat..

    BalasHapus
  3. aku laer lan gede neng semarang tapi cuma lewat wae, soale seng menarik wisata cuma gereja blenduk, liyane yo gawe sim neg samsat, museum ora ono terus bangunan okeh seng tertutup lan sebagian kanggo bisnis kuliner lan bisnis kantor, nek sore lan soyo wengi medeni, soko penampakan lan psk2 lan waria2 mangkal karo preman2 mabuk, kuwi 7thn wingi, saiki embuh nek wes ono perubahan. kudune gedung2 didata seng duweni sopo, trs diolah dibersihke ditoto,nek nggone pemerintah yo dibuka jadi museum, neng nggone swasta kanggo tempat belajar seni, terus yo sering diadake pesta seni di weekend

    BalasHapus