Desa adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan agama Hindu, dan merupakan satu kesatuan wilayah dimana para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan keagamaan yang ditata oleh suatu sistem budaya. Hal ini mengacu pada kelompok tradisional dengan dasar ikatan adat istiadat, dan terikat oleh adanya tiga pura utama yang disebut Kahyangan Tiga atau pura lain yang berfungsi seperti itu, yang disebut Kahyangan Desa.
Desa Penglipuran alah satu desa adat yang masih terpelihara keasliannya. Berbagai tatanan sosial dan budaya masih terlihat di berbagai sudut desa ini sehingga nuansa Bali masa lalu tampak jelas. Perbedaan desa adat Penglipuran dengan desa adat lainnya di Bali adalah tata ruang yang sangat teratur berupa penataan rumah penduduk di kanan dan kiri jalan dengan bentuk fasad rumah yang seragam dalam hal bentuk sehingga keseluruhan desa ini tampak rapi dan teratur.
Selain sebagai identitas, keberadaan Desa Adat Penglipuran adalah sebuah kekayaan ilmiah yang merupakan objek untuk terus dipelajari guna peningkatan pengetahuan. Banyak hal yang dapat dipelajari melalui penelitian terhadap kondisi desa, baik secara struktural maupun tatanan sosial.
LOKASI OBJEK
Desa adat Penglipuran berada di bawah administrasi Kelurahan Kubu, Kecamatan bangli, Kabupaten Bangli, yang berjarak 45 km dari kota Denpasar. Letaknya berada di daerah dataran tinggi di sekitar kaki Gunung Batur. Berdasarkan data tahun 2001 yang dihimpun pemerintah, Desa Adat Penglipuran memiliki luas wilayah sekitar 1,12 Ha.
Untuk menuju desa ini dapat dicapai melalui sisi timur Desa Bangli, yakni Jalan Raya Bangli – Kintamani, maupun dari sisi utara desa, yakni Jalan Kintamani Kayuambua – Bangli.
Desa Adat Penglipuran memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Adat Kayang
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Adat Kubu
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Adat Gunaksa
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Adat Cekeng
Desa Penglipuran resmi ditunjuk oleh Pemerintah Daerah Bali menjadi desa adat tradisional yang menjadi tujuan pariwisata sejak tahun 1992.
KONDISI FISIK
Desa ini merupakan salah satu kawasan pedesaan di Bali yang memiliki tatanan yang teratur dari struktur desa tradisional, perpaduan tatanan tradisional dengan banyak ruang terbuka pertamanan yang asri membuat desa ini membuat kita merasakan nuansa Bali pada dahulu kala. Penataan fisik dan struktur desa tersebut tidak lepas dari budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat Adat Penglipuran dan budaya masyarakatnya juga sudah berlaku turun temurun.
Keunggulan dari desa adat penglipuran ini dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Bali adalah bagian depan rumah serupa dan seragam dari ujung utama desa sampai bagian hilir desa. Desa tersusun sedemikian rapinya yang mana daerah utamanya terletak lebih tinggi dan semakin menurun sampai kedaerah hilir. Selain bentuk depan yang sama, adanya juga keseragaman bentuk dari bahan untuk membuat rumah tersebut. Seperti bahan tanah untuk tembok dan untuk bagian atap terbuat dari penyengker dan bambu untuk bangunan diseluruh desa.
Lokasi dari desa Penglipuran ini pada daerah dataran tinggi merupakan salah satu lingkup dari kaki Gunung Batur, kabupaten Bangli, Bali.
Hal tersebut menyebabkan keadaan topografi pada Desa Penglipuran berkontur, tidak rata dan mempunyai hirarki yang tertinggi yang dimanfaatkan sebagai pura, yaitu tempat bersembahyang dan pelaksaan upacara adat di desa tersebut. Semakin kearah utara topografi tanah semakin tinggi hingga didapatkan suatu hirarki tertinggi pada pura panataran dan pura puseh yang digunakan untuk sembahyang umat Hindu di daerah tersebut dan upacara rutin tiap enam bulan sekali. Semakin ke arah selatan topografi tanah semakin rendah yang digunakan untuk kuburan umat Hindu di daerah tersebut.
Umat Hindu percaya arah ke utara adalah arah mulia sehingga digunakan untuk tempat pura apalagi didukung dengan ketinggian tanah yang mencapai tertinggi pada area tersebut, serta arah selatan digunakan sebagai kuburan orang desa tersebut, kuburan anak-anak serta kuburan Alah pati dan Ulah pati.
Untuk vegetasi yang ada di wilayah Desa Penglipuran termasuk desa yang subur dan mayoritas menghasilkan bambu, hal ini dapat terlihat dari penduduknya yang banyak menggunakan bambu sebagai bahan bangunan rumah mereka.
ARTI KATA PENGLIPURAN
Kata Penglipuran berasal dari kata “penglipur”, yang memiliki arti pelipur hati (penghibur hati). Nama ini diberikan oleh Raja Bangli ketika mengungsi di desa ini bersama keluarga kerajaan dan pengawalnya.
Pada masa itu, kerajaan Bangli diserang oleh kerajaan lain sehingga Raja beserta keluarga terpaksa mengungsi. Saat Raja berada di desa ini, masyarakat menyambut dengan gembira dan membantu serta menghibur hati Raja dengan melayani segala kebutuhan Raja di dalam pengungsian. Banyak hal dilakukan oleh penduduk untuk menghilangkan kesedihan Raja, seperti mengadakan upaca penyambutan, meyediakan tampat tinggal dan kebutuhan lainnya, termasuk membantu Raja berperang untuk merebut kembali kerajaan Bangli.
Karena perbuatan penduduk desa yang telah menghibur hati Raja, maka Raja Bangli menyebut desa ini dengan nama “Penglipuran”, yang berarti bahwa penduduk desa telah menghilangkan kesedihan dan telah menghibur hati Raja.
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA PENGLIPURAN
Memiliki kepala lingkungan yang disebut Wayan Kajeng dan kepala adat yang disebut Wayan Supat. Sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani bambu yang ladangnya terletak di sebelah barat desa. Daerah ini merupakan penghasil bambu terbanyak di pulau Bali. Selain sebagai petani, juga sebagai pengrajin anyam-anyaman dari bambu.
Berdasarkan hasil wawancara dengan I Wayan Supat, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Desa Penglipuran pada tahun 2010 adalah 225 keluarga yang diwakili oleh 76 dewan desa di dalam lembaga pemerintahan.
Jumlah warga (krama) Desa Adat Penglipuran yang sebanyak 76 orang tersbut disebut sebagai warga/krama desa pengarep. Krama desa pengarep ini bertanggungjawab penuh terhadap pembangunan fisik dan non fisik di desa ini. Jumlah ini juga yang menjadi jumlah tapak rumah di dalam Desa Penglipuran.
Selain lembaga adat, masyarakat Penglipuran juga aktif dalam kegiatan PKK, Arisan, Posyandu, Pokdarwis (kelompok Sadar Wisata). Kegiatan PKK dilakukan setiap tanggal 6 dengan kegiatan simpan pinjam, sosialisasi mengenai upaya peningkatan pendapatan rumah tangga, gizi dll.
Jika ada orang asing yang ingin tinggal di Desa Penglipuran (untuk menetap atau hanya sementara), maka harus ada seorang warga asli Penglipuran yang bertanggung jawab atas keberadaan orang tersebut selama berada di dalam lingkungan Desa Adat Penglipuran. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya perusakan budaya setempat oleh kehadiran orang asing yang tinggal di dalam desa.
Sama seperti masyarakat Bali lainnya, penduduk Penglipuran juga menganut sistem kasta. Seluruh warga Desa Adat Penglipuran beragama Hindu dengan kasta Sudra (kasta terendah dalam sistem kasta di Bali), tetapi keadaan ini tidak membuat warganya berkecil hati. Hal ini menjadi motivasi bagi warga Desa Penglipuran untuk menunjukkan eksistensinya sebagai desa adat tradisonal yang bisa menjadi objek wisata.
Kegiatan sembahyang warga desa dilakukan 3 kali sehari di Pura Sanggah yang berada di dalam rumah masing-masing warga. Pada saat Purnama Tilem sembahyang dilakukan bersama-sama oleh seluruh penduduk desa di Pura Puseh atau Pura Dalem yang terletak di bagian utara desa.
Untuk menjaga kebersihan diadakan kegiatan pembersihan lingkungan satu bulan sekali setiap tanggal 15. Hal ini juga sebagai penerapan ajaran Tri Hitakarana, yaitu manusia selaras dengan Tuhan, manusia selaras dengan sesama manusia, dan manusia selaras dengan alam. Keselarasan antar sesama manusia diwujudkan dalam kegiatan ungkeman, atau arisan dalam bahasa kita. Ungkeman didakan sebulan sekali dengan tuan rumah yang bergiliran.
Setiap rumah diwajibkan memelihara anjing karena anjing dianggap sebagai sahabat setia manusia. Hal ini berdasar pada legenda Asudewa, anjing Dharmawangsa yang tetap setia menemaninya membuat kisah-kisah sastra. Dharmawangsa merupakan anggota keluarga Pandhawa. Pada saat perang anjing juga setia menemani Pandhawa berperang, sehingga Pandhawa memerintahkan setiap keturunannya wajib memelihara anjing. Penduduk dilarang mengkonsumsi daging anjing. Namun pada beberapa kegiatan, anjing dikorbankan dan dimakan dengan filosofi memberi tempat yang lebih baik pada sahabatnya.
LEMBAGA PEMERINTAHAN
Pimpinan tertinggi di Desa Penglipuran dipegang oleh seorang kepala adat yang diberi gelar I Wayan Supat dan memiliki masa jabatan yang ditentukan. Masa Jabatan I Wayan Supat yang masih aktif sekarang ini (2010) akan berakhir pada tahun 2012.
Di dalam mengelola pemerintahan di dalam desa, I Wayan Supat dibantu sebuah lembaga pemerintahan (perangkat desa) yang bersifat informal otonom, yakni tidak berada di bawah pejabat pemerintahan Indonesia. Namun, antara lembaga ini tetap melakukan hubungan korrdinasi dengan pemerintahan Propinsi Bali. Keberadaan lembaga pemerintahan Desa Adat Penglipuran tersebut diatur dalam Perda Bali No. 3 Tahun 2001.
Dalam menjalankan pemerintahan, perangkat desa memiliki sebuah peraturan adat (seperti UUD dalam pemerintahan Indonesia) yang disebut “Tri Hita Karana”. Beberapa hal yang tercantum di dalam peraturan tersebut adalah:
1 Parahyangan
Hubungan manusia dengan Tuhan, diwujudkan dengan melakukan peribadatan di tempat suci untuk memuja Tuhan.
2 Pawongan
Hubungan manusia dengan manusia, diwujudkan dengan menjaga keharmonisan di dalam perkawinan.
3 Palemahan
Hubungan manusia dengan lingkungan, diwujudkan dengan menjaga kelestarian lingkungan sekitar dan juga memlihara hewan ternak dengan baik.
SISTEM PERKAWINAN
Penduduk Desa Penglipuran menganut sistem patrilineal, yakni sebuah keturunan berdasarkan dari laki-laki. Beberapa penerapan sistem ini adalah bahwa seorang wanita yang menikah harus ikut ke rumah suaminya dan warisan berupa harta tak bergerak (tanah) diberikan kepada anak laki-laki di dalam keluarga.
Di dalam kepercayaan yang dianut warganya yang kemudian menjadi hukum tak tertulis Desa Adat Penglipuran, seorang laki-laki hanya diperbolehkan memiliki satu orang istri, begitu juga sebaliknya (menganut monogami). Paham poligami ataupun poliandri dilarang keras dijalani oleh penduduk Desa. Jika terdapat seorang warga yang melakukan tindak poligami atau poliandri, maka dilakukan sebuah hukuman sosial bagi pelaku beserta keluarganya. Hukuman ini berupa pelanggar besera keluarga ditempatkan di sebuah pekarangan yang terletak di luar ketiga zona Tri Mandala, yakni di sebuah zona khusus yang status nilainya lebih rendah daripada Nista Mandala. Mereka dilarang memasuki tempat suci desa (dalam hal ini Pura, sebagai tempat peribadatan). Hukuman ini berlaku hingga anak cucu pelanggar hukum tersebut.
Apabila ada pendatang dari luar yang ingin menikah dengan penduduk Desa Penglipuran, dia harus masuk dan mengikuti ajaran agama Hindu sesusai dengan agama resmi di dalam Desa Penglipuran. Jika orang luar tersebut berjenis kelamin wanita, maka ia harus ikut suaminya untuk tinggal di dalam lingkungan Desa Penglipuran.
KONSEP TATA RUANG BALI
Dalam konsep tata ruang Bali penataan lingkungan dan penempatan bagian-bagian rumah selalu berkiblat ke arah utara. Hal ini dipengaruhi oleh Gogohan Tua (kebudayaan tua) yang menempatkan arah utara sebagai tempat tertinggi dan suci. Sehingga pola penempatan bangunan desa selalu melintang dari utara ke selatan, dengan utara sebagai bagian suci.
Sedangkan dalam tata ruang bangunan tinggal memiliki konsep sanga mandala, dimana sebuah bangunan terbagi menjadi bagian utama, madya dan nista. Konsep ini mengacu kepada dua hal, yang pertama kepada arah lintasan matahari (timur – barat). Bagian bangunan timur lebih mulia dibanding bagian barat. Dan yang kedua mengacu pada sumbu kaja kelud (gunung laut), dimana arah gunung lebih mulia ketimbang arah laut.
SISTEM TATA RUANG DESA ADAT PENGLIPURAN
Di dalam Desa Penglipuran, ada sebuah kaidah arsitektur yang disebut dengan nama awik-awik untuk mengatur semua tata cara pembangunan.
Dalam pembagian peruntukan lahan (tata ruang), Desa Penglipuran menganut sistem Tri Mandala, yakni sebuah sistem penataan ruang yang dibagi menjadi tiga zona peruntukan. Istilah tersebut berasal dari dua kata, yakni “Tri” dan “Mandala”. Tri memiliki arti “tiga”, sedangkan Mandala memiliki arti “ruang”. Sehingga pengertian etimologis dapat diperoleh dari kedua arti kata tersebut, yakni “Tiga Ruang”. Atau dalam penjabarannya, Tri Mandala adalah pembagian tata ruang kawasan menjadi tiga zona berdasarkan tingkat status nilai kultural (peraturan adat) yang setiap zona tersebut memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan status nilai yang dimiliki.
Pembagian tata ruang tersebut adalah sebagai berikut,
1. Utama Mandala
Zona ini merupakan tempat yang memiliki nilai tertinggi di antara zona yang lain. Terletak di bagian yang paling dekat dengan Gunung (di kawasan Desa Penglipuran, zona Utama berada di bagian Utara). Di zona ini terdapat sebuah Pura sebagai tempat peribadatan pusat dari seluruh warga Desa Penglipuran.
2. Madya Mandala
Merupakan zona yang memiliki nilai di tengah-tengah. Terletak di antara zona Utama dan Nista. Di zona Mandala ini merupakan tempat didirikannya rumah tinggal bagi penduduknya.
3. Nista Mandala
Zona ini merupakan tempat yang memiliki nilai terendah di antara zona yang lain. Terletak di bagian yang paling dekat dengan laut (di kawasan Desa Penglipuran, zona Nista berada di bagian Selatan). Karena itu, di zona ini terdapat sebuah kompleks pemakaman.
Zona ini merupakan tempat yang memiliki nilai terendah di antara zona yang lain. Terletak di bagian yang paling dekat dengan laut (di kawasan Desa Penglipuran, zona Nista berada di bagian Selatan). Karena itu, di zona ini terdapat sebuah kompleks pemakaman.
UTAMA MANDALA
Merupakan tempat dengan nilai tertinggi pada kawasan desa. Pada zona ini terletak pura sebagai tempat beribadat warga Penglipuran.
MADYA MANDALA
Zona ini merupakan tempat dengan nilai tengah, antara Utama dan Nista dan digunakan sebagai tempat tinggal warga. Rumah utama yang berada di Desa Penglipuran berjumlah 76 rumah yang dibagi menjadi oleh jalan utama menjadi 32 rumah di tiap sisi jalan. Penomoran rumah menggunakan sistem modern, yakni nomor ganjil berada di satu sisi dan nomor genap berada di sisi lain. Rumah dengan nomor ganjil berada di sisi timur jalan, sedangkan rumah dengan nomor genap berada di sisi barat jalan. Nomor rumah tersebut diletakkan di gerbang rumah beserta sebuah papan informasi yang menunjukkan kondisi penghuni rumah, yakni nama kepala keluarga, jumlah penghuni laki-laki, jumlah penghuni wanita, serta sebuah keterangan tentang penghuni rumah.
Setiap tapak rumah warga, di dalamnya terdapat beberapa bangunan yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dengan penempatan tiap bangunan disesuaikan dengan peraturan Tri Mandala. Beberapa bangunan tersebut adalah, tempat tidur orang tua (berada di bagian utara), tempat tidur anak (berada di bagian barat), tempat memotong gigi (metatah) dan nagaben (berada di bagian selatan) serta kandang dan toilet (berada di bagian timur). Perletakan ini sesuai dengan peraturan dalam Tri Mandala, yakni bagian utara adalah zona Utama dan bagian timur tapak adalah zona Nista.
Perletakan satu rumah warga dengan rumah warga yang lain, saling bergandengan tanpa dipisahkan oleh pagar pembatas dan ada sebuah jalur yang menghubungkan antar-rumah tersbut. Hal ini dilakukan agar warga dengan tetangga sekitar dapat melukakan hubungan yang langsung sehingga tetap terjaga keharmonisan hubungan antar-warga.
Pengaruh arsitektur dari luar Desa Penglipuran mulai dirasakan sejak tahun 1960-an, yakni berupa bahan bangunan, interior, dan perabotan modern digunakan dalam pembangunan, tetapi ciri khas arsitektur tradisional harus tetap terjaga. Salah satu ciri tersebut adalah bentuk gerbang rumah, tata letak bangunan di dalam rumah, dan tidak boleh dibangun bangunan bertingkat.
Jika sebuah keluarga memiliki jumlah anggota banyak, maka pembangunan rumah baru dilakukan dengan cara membangun di belakang rumah utama seluas 200 m2 (sikut satak) sehingga jika dilihat dari jalan desa, jumlah rumah di Desa Penglipuran tetap 76 rumah. Pada masing-masing rumah memiliki gapura sebagai pintu masuk. Gapura tersebut diapit tembok setinggi mata yang terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran kerbau Di dekat gapura ditempatkan pura sanggah sebagai tempat sembahyang keluarga.
Karena setiap rumah memiliki luas lahan yang sama sehingga untuk mengadakan hajatan besar diadakan di Bale Banjar yang terletak di dekat gapura desa. Selain itu, Bale Banjar juga berfungsi sebagai tempat berkumpul penduduk ketika rapat, pemilihian kepala desa, imunisasi, dan lain-lain.
Pengaturan rumah penduduk pada desa Penglipuran, dengan lebih mengutamakan letak sanggah yaitu sebelah timur, paon meten bagian utara dari bale upacara, sedangkan bagian barat laji dan lumbung. Pada Sangah terdapat 3 rong sebagai tempat sesembahan kepada tiga dewa utama kehidupan. Sedangkan pada bagian Paon meten merupakan tempat tinggal, mulai dari dapur, tempat tidur dan tempat air.
Suatu upaya yang sungguh arif dan brilian. Itulah kesan pertama yang tertangkap saat mengamati arsitektur tradisional Bali di desa Penglipuran. Desa Penglipuran yang mempunyai potensi material bambu di daerah sekitarnya. Para undagi menerapkannya dan menyandingkannya dengan material kayu. Dan hal inilah yang membuat arsitektur nusantara mempunyai jati diri di dalam kancah arsitektur dunia. Seperti halnya arsitektur tradisional di desa Penglipuran ini pun menggunakannya penyelesaiannya yang sama untuk menyambung bagian satu dengan bagian yang lain.
Di dalam ilmu kostruksi kita mendapati bahwa suatu bangunan dibagi mejadi tiga bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Gaya disalurkan melewati ketiga bagian tersebut. Begitupun juga apabila kita kaji bangunan-bangunan yang ada di Bali. Hal tersebut umumnya berlaku pada bangunan candi sebagai tempat peribadatan.
Pada arsitektur Bali, ada beberapa jenis bangunan yang menonjol yaitu rumah tempat tinggal, tempat ibadah, bangunan tempat musyawarah, dan rumah penyimpanan. Tidak seperti arsitektur modern, arsitektur tradisional Bali dijiwai nilai-nilai religious dan transendental mulai dari konsep sampai proses pembuatan dan pasca pembuatan. Menghubungkan yang sacral dan profane.
Typologi bangunan tradisional umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan utama, madya dan sederhana. Tipe terkecil untuk bangunan perumahan adalah sakepat. Yang berarti bertiang empat. Tipe-tipe membesar bertiang enam, bertiang delapan, bertiang Sembilan, dan bertiang duabelas. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut :
Sakepat
Bangunan sakepat dilihat dari luas ruang tergolong bangunan sederhana luasnya ±3m x 2,5m. bertiang empat denah segi empat. Atap dengan kostruksi kampiah atau limasan. Sebgai variasi dapat ditambah dengan satu tiang parba, satu atau dua tiang pandak. Dapat pula tanpa balai-balai dalam fungsinya untuk balai patok atau fungsi lain yang tidak memerlukan adanya balai-balai. Konstruksinya cecanggahan, sunduk, atau canggah wang.
Sakenem
Bangunan sakenem berbentuk segi empat panjang, dengan panjang sekitar tiga kali lebarnya. Luas bangunan ±6m x 2m, mendekati dua kali luas sakepat. Konstruksi bangunan terdiri dari enam tiang berjajar tiga-tiga pada kedua sisi panjang. Keenam tiang disatukan oleh suatu balai-balai atau empat tiang pada satu balai-balai dan dua tiang di teben pada satu balai-balai dengan dua saka pandak. Hubungan balai-balai dengan kostruksi perangkai sunduk waton, likah dan galar.
Konstruksi atap dengan kampiah atau limas an. Bahan bangunan dan penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi dan tingkat kualitasnya.
Sakutus
Diklasifikasikan sebagai bangunan madya dengan funsi tunggal untuk tempat tidur yang disebut bale meten. Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan luas sekitar 5m x 2,5m. Konstruksi terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat-empat menjadi dua balai-balai. Tiang-tiang dirangkaikan dengan sunduk, waton/ selimar, likah, dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistem lait pada pepurus sinduk dengan lubang tiang sanggawang tidak ada pada sekutus. Konstruksi atap menggunakan sistem kampiyah bukan limasan, difungsikan untuk sirkulasi udara selain udara yang melewati celah antara atap dan kepala tembok.
Astasari
Bentuk bangunan segi empat panjang, dengan luas sekitar 4m x 5m. tinggi lantai kurang lebih 0,60m dengan tiga atau empat anak tangga ke arah natah. Bangunan dengan dinding penuh. Dinding setengah sisi dan setengah tinggi pada sisi teben kauh dan terbuka ke arah natah,
Konstruksi bangunan dengan satu balai-balai mengikat empat tiang dan empat tiang lainnya berdiri dengan sanggawang sebagai stabilitas. Pemaku tiang pada balai balai dengan sunduk dan lait, pasak, pada hubungannya. Konstruksi atap limas an dengan dedeleg pada pertemuan puncak atap.
Bahan bangunan, lantai pasangan batu alam, dinding pasangan batu cetak atau batu bata peripihan. Tiang dan rangka atap kayu. Rangkap atap iga-iga dari bambu dan penutup atap dari alang-alang. Seluruh konstruksi menampakan keterlanjangan warna alam sebgai warna aslinya
BAGIAN-BAGIAN STRUKTUR
Seperti disebutkan di awal tadi bahwa bangunan tradisional Bali menganut prinsip kepala-badan-kaki. Maka bagian-bagiannya adalah:
Bebaturan Bagian bawah atau kaki bangunan adalah bebaturan yang terdiri dari jongkok asu sebagai pondasi tiang, tapasujan sebagai perkerasan tepi bebaturan. Bebaturan merupakan lantai bangunan, undag, atau tangga untuk lintasan naik turun lantai ke halaman.
Bahan bangunan yang dipakai untuk bebaturan sesuai dengan tingkatan sederhana, madya, dan utama. Jongkok asu sebagai pondasi alas tiang disusun dari pasangan batu alam atau batu buatan perekat lempung pasir kapur atau pasir semen. Biasanya dipakai bahan-bahan local yang mudah didapat. Untuk desa Penglipuran kemungkinan bahan batu alam berasal dari batu lava karena terletak di daerah pegunungan.
Dinding Untuk bangunan yang sederhana bidang-bidang pembatas sisi dipakai dinding gedeg anyman bambu atau anyman daun kelapa yang disusun dengan rangka terampa uger-uger. Daun kelapa dapat dianyam pada kedua belah sisi pelepah dengan helai daun terbuka disebut teratub. Dilipat dari sebelah sisi untuk anyaman pada sisi sebelah sehingga mendapatkan anyaman yang lebih tebal dan lebih kokoh dari teratub yang disebut kelangsah. Pemasangan penutup dinding pada rangka dinding diikat dengan tali bambu atau tali ijuk dalam satu komposisi yang serasi.
Tembok
Tembok dan pilar-pilarnya dibangun dengan pola kepala-badan-kaki, dihiasi dengan pepalihan dan ornament bagian-bagian tertentu. Tembok tradisional dibangun terlepas tanpa ikatan dengan konstruksi rangka bangunan. Dipertegas dengan celah antara kepala tembok dan sisi bawah atap sehingga tembok bebas tidak memikul. Dengan konstruksi tembok bebas beban diharapkan terhindar dari bahaya gempa yang terjadi.
Sesaka atau kolom
Elemen konstruksi utama dalam bangunan tradisional adalah tiang modul dasar sesungguhnya adalah tiang yang disebut sesaka. Jarak tiang ke tiang ke arah panjang adalah sepanjang tiang ditambah pengurip. Jarak tiang ke tiang ke arah lebar 2/3 panjang tiang ditambah pengurip atau bervariasi dari bawah lambing sampai ke atas slimar atau sunduk dawa atau sunduk bawak dan bagian-bagiannya. Masing-masing juga dengan penguripnya. (pengurip=pelebih) Bahan yang dipakaiuntuk sesaka adalah kayu-kayu dengan kualitas dari kelompok-kelompok tertentu seperti raja kayu ketewel, patih kayu jati. Selain itu digunakan pula raja kayu cendana, patih kayu menengen.
Bangunan-bangunan tradisional yang dibangun dengan konstruksi rangka, sesaka dan bagian-bagian rangka lainnya hubungan elemen-elemen strukturnya dikerjakan dengan sistem lait, baji, dan ikatan tali temali. Struktur dan konstruksi serupa itu merupakan struktur dan konstruksi yang tahan gempa, yang diperlukan untuk bangunan-bangunan di daerah yang sering terjadi gempa.
Pementang
Balok belandar sekeliling rangkaian tiang-tiang tepi, dalam bangunan tradisional disebut lambang. Lambing rangkap yang disatukan, balok rangkaian yang dibawah disebut lambang dan yang di atas disebut sineb. Balok tarik yang membentang di tengah-tengah mengikat jajaran tiang tengah disebut pementang.
Iga-iga
Usuk-usuk bangunan tradisional Bali disebut iga-iga. Pangkal iga-iga dirangkai dengan kolong atau dedalas yang merupakan bingkai tepi luar atap. Ujung atasnya menyatu dengan puncak atap. Batang simpul menyatu di puncak disebut petaka untuk atap berpuncak satu titik dan dedeleg untuk puncak memanjang. Disebut langit-langit untuk atap dengan konstruksi kampiyah yang bukan limasan.
Raab
Penutup atap tradisional disebut raab yang umumnya dibuat dari bahan-bahan alam, sebagian besar alang-alang. Di pegunungan ada pula yang dibuat dari sirap bambu seperti yang terdapat di desa penglipuran ini. Alang-alang dihasilkan sekali dalam setahun untuk bahan yang cukup tua. Disabit, dibersihkan, diolah dalam rangkaian ikatan yang merupakan bidang-bidang atap. Ikatan alang-alang dengan tali ijuk dan ke bidang rangka atap diikatkan dengan tali bambu pada iga-iga yang juga terdapat dari bambu pilihan.
Walaupun desa ini masih sangat tradisional akan tetapi setiap rumah sudah menggunakan listrik sebagai penerangan utamanya. Listrik pada desa penglipuran ini bersumber pada PLN dan juga memanfaatkan jendela dan lubang dinding lainnya sebagai media penerangan pada siang harinya dari sinar matahari atau terang langit.
NISTA MANDALA
Makam desa Penglipuran terletak pada bagian paling selatan dari desa ini. Penempatan ini berdasarkan kepada kepercayaan masyarakat tentang orientasi kaja (utara/gunung) dan kelod (selatan/laut). Bangunan-bangunan di desa adat Penglipuran penempatannya diatur mulai dari utara yang merupakan area paling suci, biasanya di fungsikan sebagai pura, hingga ke selatan yang merupakan area yang paling tidak suci. Area yang tidak suci ditempati oleh orang-orang yang melanggar peraturan adat (awig-awig); misalnya, laki-laki yang memiliki isteri lebih dari satu berarti melanggar awig-awig pada bab perkawinan (pawos pawiwahan). Dalam pandangan masyarakat, pemakaman juga digolongkan sebagai tempat yang paling tidak suci.
Kompleks pemakaman di desa Penglipuran tidak sama dengan makam pada umumnya di wilayah lain. Di kompleks pemakaman ini tidak ditemui makam-makam yang berderet dan berjumlah banyak karena pada dasarnya kepercayaan dalam agama Hindu (agama resmi di desa Penglipuran) menerapkan tradisi ngaben (upacara pembakaran jenazah) sehingga tidak semua orang dimakamkan di kompleks ini.
Kompleks pemakaman ini dibangun untuk menghormati perjuangan Kapten Anak Agung Gede Mudhita atau A.A.Anom Muditha dan 18 anggotanya yang tewas ditembak oleh tentara NICA (Belanda) di desa Penglipuran pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Jalan di samping kompleks pemakaman ini juga diberi nama “Jalan Pahlawan” untuk menghormati para pahlawan tersebut. Adapun objek-objek yang berada di kompleks makam ini adalah:
Pura Dalam Agung
Petinggih Ratu Gede
Berfungsi sebagai tempat penyimpanan barong dan perlengkapan upacara lainnya. Desa Penglipuran memang dikenal sering mengadakan upacara adat sehingga desa ini dikenal sebagai salah satu objek wisata budaya.
Bale Bengong
Berfungsi sebagai tempat pertemuan bagi masyarakat desa ketika merencanakan untuk mengadakan upacara adat tertentu.
Prasasti dan patung
Sebagai pertanda/peringatan yang menunjukkan bahwa Kapten Anak Agung Gede Mudhita (tertulis: AAGdANDM Muditha) dimakamkan di kompleks pemakaman ini.
Deretan nisan Merupakan nisan Kapten Anak Agung Gede Mudhita dan 18 anggotanya. Nisan anggota berjejer dalam enam baris ke samping. Sedangkan nisan Kapten Anak Agung Gede Mudhita berada di satu sisi menonjol keluar.
Posisi ruang-ruang di dalam kompleks pemakaman tersebut di atas dapat dilihat pada sketsa denah berikut ini:
UTILITAS LINGKUNGAN
JARINGAN SAMPAH
Sistem pembuangan sampah pada desa penglipuran ini adalah menggunakan sistem desentralisasi, yaitu pengumpulan sampah yang dilakukan di beberapa bak koleksi yang ditempatkan diluar masing-masing rumah. Selanjutnya sampah tersebut diangkut dengan mobil grobak dan dikumpulkan pada suatu tempat ( tempat pembuangan akhir ).
JARIANGAN AIR KOTOR (DRAINASE)
Air kotor pada Desa Penglipuran yang dihasilkan dari masing-masing RT langsung di tamping ke septic tank (limbah padat). Sedangkan untuk limbah cair di buang ke selokan yang dihubungkan melalui pipa-pipa. Pada umumnya warga menggunakan closet jongkok di WC nya.
JARINGAN AIR BERSIH
Air bersih yang digunakan untuk mencukupi konsumsi air bersih pada Desa Penglipuran berasal dari PDAM.
PENGHAWAANSistem penghawaan pada Desa Penglipuran menggunakan sistem penghawaan alami berupa jendela dan lubang dinding lainnya yang juga memanfaatkan terang langit sebagai media penerangan pada siang hari.
* * * * * * * * *
Download Laporan KKL - Desa Adat Penglipuran - 1,51 mb
* * * * * * * * *
Berdasarkan produk tugas mata kuliah KKN Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (angkatan 2007)
Tim Penyusun:
Adi Syahputra
Adittyo Bayu Susanto
Achmad Subadri
Agung Dwi Nugroho
Andila Suhartri
Arni Wahyu Ningtyas
Bonifasius Santoso
Candra Wirawan B. P.
Diana Rosneini
Dimas Prabowo
Fadzilla Rizka
Feby Oktora
Gembong Kurniadi
Ivan Rio Vauzi
Ittria Ayu Permata S.
Linata Ermi D.
Nadia Hertika L.
Pambayun Kendi
Rizky Kharismawaty
Septia Faril Lukman
Steviana Restianti
Yusti Adiprasetya
bagus bgt pictnya, kl di drh gng Batur pasti hawanya sejuk, btw u aturan perkawinan yg hny menganut monogami...sip jg tuh..hehe. well, useful info, jd pgn k Bali nh.., tq n success 4 u Faril..!
BalasHapusiya, aturan perkawinan di Desa Penglipuran sangat tegas..Barang siapa melanggar aturan ini dan nekat melakukan poligami, hukumannya akan berlaku untuk dirinya beserta keturunannya..
BalasHapusTapi saya kurang tahu sampai keturunan ke berapa hukuman itu dijalankan..
Cukup lengkap bro..
BalasHapuscm ada beberapa istilah yang kurang tepat..
wm-site.com: bisa tolong dijelaskan beberapa istilah yang Anda maksud??
BalasHapusterimakasih atas masukannya
Tatanan Desa Adat seperti artikel Mas Bro diatas memang sangat unik apabila di baca oleh masyarakat di luar Bali,bagi kami yang bertempat tinggal di Bali memang memiliki aturan adat yang memang harus dijalankan bersama2 warga setempat dengan mengacu awig2 desa adat dimasing2 tempat, disesuaikan dengan kondisi, sarana, dan prasarana yang ada.
BalasHapusSemoga dengan adanya ini, Bali tidak tergerus budayanya dan masih bisa dinikmati oleh anak cucu kami nantinya. Terimakasih atas sharingnya Mas Bro.
bisa tolong dijelaskan beberapa istilah yang Anda maksud??
BalasHapusterimakasih atas masukannya
iya, aturan perkawinan di Desa Penglipuran sangat tegas..Barang siapa melanggar aturan ini dan nekat melakukan poligami, hukumannya akan berlaku untuk dirinya beserta keturunannya..
BalasHapusTapi saya kurang tahu sampai keturunan ke berapa hukuman itu dijalankan..
Saya rasa anda harus mencantumkan sumber referensi yg anda pakai untuk menyusun artikel ini, karena ini bisa termasuk dalam plagiarisme, walaupun anda menggunakan studi kasus Desa Panglipuran, karena hampir semua penjelasan anda mengenai konstruksi bangunan di atas anda mengutip tulisan dari bapak Ir. I Nyoman Gelebet, dkk, tahun 1981. Tolong sebagai insan akademik anda menghargai penulis atau peneliti sebelumnya
BalasHapusMaaf sebelumnya jika ada pihak yang tidak berkenan.
BalasHapusSaya jelaskan lebih detail, di bagian bawah kan sudah ditulis "Berdasarkan produk tugas............." Jadi, semua sumber penulisan ada di sana. Saya tidak perlu mencantumkan lagi di sini. Jika ingin tahu sumbernya, silakan dibuka hardcopy dari produk tugas tersebut.