Dimasa lalu sejak zaman Majapahit hingga Mataram Islam (abad 13 s/d 18), alun-alun selalu menjadi bagian dari kompleks Keraton (istana raja). Keraton dalam masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kebudayaan. Sebagai pusat pemerintahan di mana raja tinggal, maka Keraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos. Kompleks Keraton biasanya diberi pagar yang terpisah dari daerah lainnya pada suatu ibukota kerajaan, Batas pagar ini tidak selalu ditafsirkan melalui sistim pertahanan, tapi dapat ditentukan juga dari aspek kepercayaan/keagamaan. Untuk itu kita harus mengerti dulu hubungan antara kepercayaan/keagamaan dengan kompleks Keraton.
Manusia yang religius seperti halnya mayarakat agraris yang religius di Jawa ini biasanya membagi ruang menjadi dua jenis, ruang yang homogen atau sakral (disucikan) di satu pihak dan ruang yang inhomogen atau yang tidak teratur (bisa disebut profan) di lain pihak. Di alam sakral segalanya teratur, baik tingkah laku manusia maupun struktur bangunannya. Sedang di ruang yang inhomogen semuanya tidak teratur, karena tidak/belum disucikan (Eliade, 1959:20-65).
Wilayah Keraton selalu dianggap sebagai wilayah yang homogen (Sakral), yang teratur atau harus diatur. Manifestasi dari keinginan inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari susunan sebuah Keraton. Seperti dijelaskan di depan bahwa Kraton dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos. Manifestasinya adalah sebagai berikut: tempat tinggal raja yang biasa disebut sebagai ‘dalem ageng’ diibaratkan sebagai puncak Mahameru (atau gunung Semeru di Jawa). Disinlah kekuasaan dan wibawa raja dirasakan sangat besar. Di daerah lingkaran di luarnya disebut ‘negara agung’ (negara besar), batas luarnya adalah pelataran dalam. Disini kekuasan raja masih terasa besar. Di luar ‘negara agung’ dinamakan kawasan ‘mancanegara’ (luar daerah). Ini sudah agak diluar, tapi belum keluar dari batas teras Kraton. Di tempat inilah biasanya raja menerima tamu. Diluarnya lagi disebut Pasisir. Batas luarnya sudah mencapai Siti Inggil, bangunan di batas alun-alun dengan Keraton. Di Pesisir, Raja jarang muncul, hanya beberapa kali dalam setahun misalnya bila ada perayaan tertentu. Daerah paling luar disebut ‘sabrang’ (daerah seberang). Di daerah inilah bangsal pertemuan untuk para Bupati ditempatkan. Jadi jelaslah disini meskipun tempatnya paling luar tapi ‘alun-alun’ masih terletak di dalam kompleks Keraton.
Di dalam Kraton Majapahit seperti dilukiskan oleh Prapanca dalam Negarakretagama, di sebelah Utara dari kompleks Keraton terdapat dua alun-alun. Masing-masing dinamakan Bubat (terkenal sebagai tempat pertarungan sengit antara utusan kerajaan Padjadjaran dengan pasukan Gajah Mada), yang luasnya kira-kira 1 km2, dengan lebar kurang lebih 900.00 M dan alun-alun yang satunya lagi disebut Waguntur.
Meskipun keterangan Prapanca dalam Negarakretagama kurang begitu jelas, tapi masih bisa ditangkap betapa pentingnya peran alun-alun sebagai bagian dari pusat kota. Fungsi kedua alun-alun ini sedikit berbeda satu sama lain. Alun-alun Bubat lebih bersifat profan. Pesta rakyat yang diadakan setiap tahun sekali pada bulan Caitra (Maret/April) diselenggarakan di lapangan Bubat. Pada 3-4 hari terakhir pertunjukan dan permainan diselenggarakan dengan kehadiran dari Raja.
Fungsi Alun-alun Waguntur lebih sakral. Alun-alun ini terletak di dalam pura Raja Majapahit, yang digunakan untuk lapangan upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di Alun-alun Waguntur ini terdapat Siti Inggil, serta kompleks pemujaan (kuil Siwa) yang terletak di sebelah Timur dari Alun-alun Waguntur. Fungsinya mirip dengan fungsi Alun-alun Lor Kraton Yogyakarta atau Surakarta, hanya kompleks pemujaan pada Alun-alun Lor diganti dengan Masjid yang letaknya di sebelah Barat dari Alun-alun.
Fungsi Alun-alun Waguntur lebih sakral. Alun-alun ini terletak di dalam pura Raja Majapahit, yang digunakan untuk lapangan upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di Alun-alun Waguntur ini terdapat Siti Inggil, serta kompleks pemujaan (kuil Siwa) yang terletak di sebelah Timur dari Alun-alun Waguntur. Fungsinya mirip dengan fungsi Alun-alun Lor Kraton Yogyakarta atau Surakarta, hanya kompleks pemujaan pada Alun-alun Lor diganti dengan Masjid yang letaknya di sebelah Barat dari Alun-alun.
Model yang masih bisa kita lihat sebagai prototype Alun-alun kota di Jawa pada zaman yang lebih modern adalah Alun-alun Yogyakarta dan Surakarta bekas perpecahan kerajaan Mataram-Islam di masa lampau. Baik di Yogyakarta maupun di Surakarta terdapat dua buah alun-alun, yaitu Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Di masa lalu, Alun-alun Lor berfungsi untuk menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan Raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan Keraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara Raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar alun-alun.
Alun-alun Lor Yogyakarta pada masa lalu berbentuk ruang luar segi empat berukuran 300x265 meter. Di tengahnya terdapat dua buah pohon beringin dan di sekelilingnya terdapat 64 pohon beringin yang ditanam dengan jarak sedemikian rupa sehingga terlihat serasi dengan bangunan disekitarnya. Permukaan Alun-alun ini ditutupi dengan pasir halus.
Dua buah pohon beringin ditengah Alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arif-bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos.
Dengan demikian, pohon beringin di Alun-alun melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, agar keharmonisan dengan hukum universum tetap terjaga (Pigeaud, 1940:180).
Dua buah pohon beringin ditengah Alun-alun tersebut dikelilingi oleh pagar segi empat. Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘Waringin Kurung’. Nama Waringin berasal dari dua suku kata “wri” dan “ngin”. “Wri” berasal dari kata “wruh” yang berarti mengetahui, melihat. “Ngin” berarti memikir, tindakan penjagaan masa depan (Pigeaud, 1940:180). Kedua kata tersebut melambangkan kematangan manusia yang arif-bijaksana, karena orang Jawa berangapan bahwa kegiatan bijaksana berasal dari kosmos.
Dengan demikian, pohon beringin di Alun-alun melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Kesatuan ini tidak timbul dengan sendirinya. Pohon beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat didalam pagar kayu mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, agar keharmonisan dengan hukum universum tetap terjaga (Pigeaud, 1940:180).
Alun-alun zaman Mataram Islam juga digunakan oleh warga (rakyat biasa) untuk bertemu langsung dengan Sultan (Raja Mataram Islam), guna meminta pertimbangan atau suatu kasus perselisihan. Orang harus memakai pakaian dan penutup kepala putih dan harus duduk menunggu diantara kedua pohon beringin sampai diperbolehkan menghadap raja. Proses tersebut disebut “pepe” yang memiliki pengertian berjemur di tempat terbuka (selama menunggu kedatangan Sultan, orang tersebut harus duduk menunggu di tempat terbuka - alun-alun).
Di sebelah Barat alun-alun terdapat Masjid. Di halaman Masjid terdapat dua buah bangsal terbuka untuk dua buah perlengkapan gamelan. Salah satu diantaranya disebut “Kyai Sekati” dan yang lain disebut “Nyai Sekati”. Keduanya dimainkan bergantian dimainkan hanya pada 3 upacara keagamaan, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Sawal dan Garebeg Besar. Di seberang Masjid terdapat bangunan yang disebut ‘Pamonggangan”, yakni tempat untuk menyimpan gamelan yang lain.
Pada zaman Mataram Islam, setiap hari Sabtu sore diadakan pertunjukan ‘Sodoran’5 di alun-alun (di luar kawasan Kasultanan, pertunjukan tersbut diadakan pada hari Senin sehingga sering disebut Seton atau Senenan). Gamelan dimainkan sewaktu ada pertunjukan itu.
Di sebelah bangunan “Pamonggangan” terdapat sebuah kandang harimau dan binatang buas lainnya. Pada hari Sabtu sore, selain pertunjukan Sodoran terkadang juga diadakan pertunjukan perkelahian antara banteng dan harimau, yang selalu diakhiri dengan kemenangan banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng (dalam bahasa Jawa disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah harimau (dalam bahsa Jawa disebut Simo).
Pada zaman penjajahan, banteng sering dilambangkan dengan orang Jawa dan harimau sebagai orang Belanda. Penonton pertunjukkan yang berasal dari Belanda akan tetap ikut bertepuk tangan ketika banteng berhasil mengalakan harimau. Hal ini dikarenakan mereka tidak mengerti makna yang terkandung di dalam pertunjukan aduan banteng-harimau itu. Di dalam alun-alun juga diadakan pertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan), secara beramai-ramai, yang dinamakan ‘rampog macan”.
Pada zaman Mataram Islam, setiap hari Sabtu sore diadakan pertunjukan ‘Sodoran’5 di alun-alun (di luar kawasan Kasultanan, pertunjukan tersbut diadakan pada hari Senin sehingga sering disebut Seton atau Senenan). Gamelan dimainkan sewaktu ada pertunjukan itu.
Di sebelah bangunan “Pamonggangan” terdapat sebuah kandang harimau dan binatang buas lainnya. Pada hari Sabtu sore, selain pertunjukan Sodoran terkadang juga diadakan pertunjukan perkelahian antara banteng dan harimau, yang selalu diakhiri dengan kemenangan banteng. Lambang kekuasaan raja adalah banteng (dalam bahasa Jawa disebut Maesa), sedangkan lambang kekacauan adalah harimau (dalam bahsa Jawa disebut Simo).
Pada zaman penjajahan, banteng sering dilambangkan dengan orang Jawa dan harimau sebagai orang Belanda. Penonton pertunjukkan yang berasal dari Belanda akan tetap ikut bertepuk tangan ketika banteng berhasil mengalakan harimau. Hal ini dikarenakan mereka tidak mengerti makna yang terkandung di dalam pertunjukan aduan banteng-harimau itu. Di dalam alun-alun juga diadakan pertunjukkan membunuh harimau (simbol kekacauan), secara beramai-ramai, yang dinamakan ‘rampog macan”.
Jadi Alun-alun yang pada mulanya merupakan pelataran sakral yang melambangkan harmoni antara langit yang dilambangkan sebagai pohon beringin dan bumi yang dilambangkan sebagai pasir halus, dimasa ini telah berubah fungsi dan kesakralannya.
Kesimpulanya, Alun-alun pada jaman prakolonial bisa berfungsi sebagai (Santoso, 1984) :
a. Lambang berdirinya sistim kekuasaan raja terhadap rakyatnya.
b. Tempat semua upacara keagamaan yang penting (adanya hubungan penting antara Kraton-Mesjid dan Alun-Alun).
c. Tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profane
* * * * * * * * *
Berdasarkan mata kuliah PERANCANGAN PERKOTAAN
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Tim Penyusun:
Rahmawati Mujihartini
Ria Cipta Sari
Septia Faril Lukman
Stefanie Ariyanto
Stella Maries
Tidak ada komentar:
Posting Komentar